Aceh merupakan sebuah provinsi dengan gelar istimewa selain Yogyakarta. Berada di ujung barat Indonesia dan terhubung langsung dengan Samudera Hindia dan Malaysia. Provinsi ini menjadi pusat persebaran agama Islam dari Timur Tengah karena lokasinya sangat strategis, terletak di dekat Selat Malaka. Hasilnya, terjadi akulturasi budaya dengan nuansa keislaman yang kental di wilayah ini.
Budaya Islam dapat ditemukan pada hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari syair, seni, pakaian adat, tari, dan masih banyak lagi. Bahkan, dalam tatanan pemerintahan provinsi, struktur kepemimpinan dan aturannya pun mengadopsi nilai-nilai islami.
Meski demikian, bukan berarti Aceh tidak menerima pengaruh budaya dari agama atau peradaban lain, hanya saja Islam memang lebih mendominasi. Termasuk dalam hal pakaian adat tradisional, betapa mudah untuk menemukan nafas keislaman di provinsi ujung barat Indonesia ini. Dikenal pula sebagai titik nol kilometer di wilayah Sabang, Aceh sungguh kaya akan budaya. Berikut beberapa pakaian adat Aceh yang kaya nilai sejarah.
1. Meukeutop


Dimulai dari bagian teratas anggota tubuh, Anda akan menemukan sebuah penutup kepala seperti kopiah. Memang terdapat pengaruh kultur islami di dalamnya, tetapi Meukeutop berbentuk runcing bagai kerucut di bagian puncak.
Tidak hanya itu, Anda pun akan melihat keberadaan kain sutra dengan presisi segi delapan dan menyerupai bentuk bintang melilit di kepala. Lilitan kain tersebut atau dikenal pula dengan istilah Tengkulok memiliki nuansa berwarna kekuningan. Benda satu ini merupakan cerminan asimilasi budaya Melayu Aceh dan Islam.
Namun secara menyeluruh, Meukeutop sendiri memadukan lima warna dengan arti yang khas dan berbeda. Dimulai dari kuning dengan makna kesultanan, merah mencerminkan jiwa pahlawan, hijau perlambang agama Islam, putih seperti yang umumnya diketahui merepresentasikan kesucian, serta terakhir merah menandakan ketegasan.


Kopiah Meukeutop dirajut sedemikian rupa dengan lingkaran kepala di bagian bawah. Anda pun akan menemukan motif berbentuk lam pada huruf hijaiyah jika mengamatinya secara detail. Menariknya lagi, tidak hanya klasifikasi makna berdasarkan warna, ternyata kopiah ini juga memiliki empat bagian yang maknanya khas.
Pada bagian pertama mengandung makna hukum, selanjutnya merepresentasikan adat pada bagian kedua. Di sisi ketiga dan keempat masing-masing memiliki makna kanun dan reusam. Selain itu, Meukeutop bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu cerminan nilai sejarah. Benda ini sering kali dipakai oleh Teuku Umar selaku pahlawan nasional dari aceh.
Dalam catatan sejarahnya, Teuku Umar yang kahir pada tahun 1854 silam di Meulaboh dan gugur dalam perlawanan terhadap pasukan Belanda di Meulaboh pula di tahun 1899. Untuk menghargai jasanya, masyarakat membangun sebuah tugu yang kemudian dinamakan Kupiah Meukeutop di Suak Ujong Kalak, Pantai Batu Putih.
Sayangnya, ketika tsunami terjadi di tahun 2004 silam, tugu tersebut ikut tersapu oleh air bah. Barulah dilakukan konstruksi ulang setelah kondisi Aceh berangsur lebih baik, posisi tugu dipindahkan agak ke darat sebab lokasi sebelumnya berubah menjadi laut.
2. Sileuweu


Pakaian adat tradisional yang merupakan bagian bawah dari Linto Baru, biasanya dikenal pula dengan sebutan Cekak Musang. Celana ini dikenakan oleh laki-laki dan memiliki dominan warna yang gelap berupa hitam pekat.
Saat memakainya, seorang laki-laki harus ikut mengenakan sebuah sarung soket berbahan dasar kain sutra. Di samping itu, Sileuweu sendiri terbuat dari kain katun. Pemanfaatan sarung dimaksudkan untuk meningkatkan nilai wibawa bagi pemakainya.
Ukuran kain sarung tersebut sebenarnya tidak terlalu mendominasi, hanya dililitkan dari pinggang hingga sedikit di atas lutut. Kira-kira panjangnya kurang lebih 10 cm. Kain sarung ini diberi nama Ija Krong, Ija Lamgugob, serta Ija Sangket dalam bahasa setempat.
3. Meukasah


Masih dalam jenis pakaian Linto Baro khusus laki-laki, tetapi sekarang Anda akan mengenal yang namanya Meukasah. Pasangan dari Sileuweu, namun digunakan untuk menutupi bagian atas tubuh. Nilai yang terkandung bagi pemakainya yaitu perlambang kebesaran dan kegagahan.
Tidak hanya itu, Meukasah juga memiliki model yang terbilang cantik di mana bagian leher baju ini mirip seperti kerah cheongsam. Belum lagi, ada sulaman berwarna keemasan yang tersusun rapi dari bagian dada hingga mencapai kerah.
Memang sangat gagah, bukan? Usut punya usut, ternyata pakaian ini memadukan budaya China dan Aceh saat terjadi transaksi perdagangan di Selat Malaka puluhan atau bahkan ratusan tahun silam. Sampai saat ini, potret keberanian dan kegagahannya masih tercermin jelas ketika Meukasah digunakan oleh seorang pria.
4. Patam Dhoe


Beralih pada pakaian adat tradisional Aceh untuk perempuan, Anda akan menemukan pula sebuah penutup kepala bernama Patam Dhoe dalam bahasa setempat. Penutup kepala ini mengadopsi bentuk mahkota, di mana pada bagian tengahnya terdapat ukiran berbentuk sulur dan dihiasi oleh motif-motif khusus.
Mahkota perempuan Aceh ini dibuat menggunakan material emas, di sisi kiri dan kanannya dihiasi oleh motif bunga, daun, serta pohon. Sementara itu, terdapat tulisan kaligrafi dengan lafadz Allah dan Muhammad pada bagian tengahnya.
Beranjak di sisi lain Patam Dhoe, Anda akan mengenal lagi yang namanya Boengong Kalimah, sebuah aksesori tambahan dengan perpaduan bulatan dan bunga-bungan cantik. Tidak hanya itu, masih ada lagi atribut lain seperti gelang, tusuk sanggul, kalung, anting, cincing, dan gelang kaki.
Untuk gelang kaki sendiri dikenal dengan istilah gleuang goki yang melingkari pergelangan kaki mempelai wanita saat pernikahan, sedangkan gelang di lingkaran tangan disebut ikay. Tak ketinggalan, ada pula cincin atau euncien pinto yang memanfaatkan material emas putih atau kuning untuk memperindah jari tangan.


Masih belum cukup sampai di situ, Anda akan mengenal hiasan telinga berupa subang atau anting yang juga terbuat dari emas. Anting tersebut berbentuk menyerupai bentuk bulatan di mana pada bagian bawahnya dilengkapi rumbai-rumbai. Selain itu, terdapat pula anting model lain yakni bunga matahari atau disebut subang bungong mata uroe.
Adapun kalung yang melingkari leher perempuan Aceh sewaktu menikah, bentuknya seperti hati dengan enam keping tambahan terbuat dari emas. Kalung ini disebut pula sebagai taloe toke being meuih oleh masyarakat setempat. Motif lain yang ditonjolkan pada kalung adalah daun sirih, di samping kalung manik-manik dengan motif boh bili layaknya sebuah aziman.
Ornamen-ornamen yang mempercantik penampilan perempuan Aceh ini melambangkan peralihan tanggung jawab istri atas suami ketika ijab Kabul telah ditunaikan. Lebih dari sekadar tujuan keindahan visual, ternyata ada kandungan makna mendalam pada setiap aksesori yang melekat pada pakaian tradisional Aceh untuk wanita.
5. Baju Kurung, Atasan Daro Baro


Secara umum, pakaian adat tradisional perempuan Aceh dikenal dengan istilah Daro Baro. Tidak jauh berbeda dengan pakaian laki-laki, Anda juga akan mengenal atasan dan bawahan. Untuk atasannya sendiri, masyarakat setempat menyebutnya baju kurung.
Baju kurung tersebut mencerminkan asimilasi budaya dari peradaban China, Arab, dan Melayu. Akibat kentalnya nuansa keislaman, lekuk tubuh perempuan menjadi tidak terbentuk ketika memakai atasan satu ini. Pasalnya, modelnya memang didesain sedemikian rupa sehingga ukurannya cukup besar, longgar, dan berlengan panjang.
Tujuan pemakaiannya untuk menutupi bagian pinggul wanita karena dinilai sebagai aurat. Memanfaatkan kain tenun sutra sebagai material dasarnya, ada boh dokma di bagian depannya, dan memiliki kerah di leher.
Baju kurung memang diidentikkan dengan pakaian perempuan tidak hanya di Aceh, namun di negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan di selatan Thailand pula. Menonjolkan ciri khas desain longgar pada bagian dada, lubang lengan, serta perut. Ketika dikenakan, bagian bawahnya menjulur hingga ke paha, tetapi tidak jarang pula sampai menyentuh lutut.
Kontras dengan pakaian adat laki-laki Linto Baro, baju kurung justru memanfaatkan opsi warna-warna cerah. Umumnya, tersedia warna kuning, ungu, hijau, atau merah. Di samping itu, dilengkapi pula sulaman dari benang keemasan.


Pada bagian pinggang, mempelai wanita akan menggunakan kain songket khas Aceh atau dikenal pula dengan sebutan Ija Krong Sungket oleh warga lokal, yang fungsinya sebagai pelengkap baju kurung. Kain songket ini pun tidak boleh sembarang dililitkan karena harus memakai pengikat tali emas atau perak yang bernama Taloe Ki leng Patah Sikureung atau tali pinggang patah sembilan.
Lebih jauh, pemanfaatan baju kurung sebenarnya tidak hanya pada saat acara pernikahan atau pakaian tradisional saja. Anda akan menemukan banyak sekali perempuan di Aceh bahkan Indonesia secara umum memakai desain baju sejenis itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena memang, pemanfaatannya kini telah mengalami transformasi tetapi desainnya minim aksesori.
Jika melihat sejarah ke belakang, dahulu bahkan baju kurung hanya dipakai oleh perempuan melayu di dalam kerajaan bersamaan dengan kain songket sebagai sarungnya, dilengkapi berbagai macam perhiasan, serta kipas atau tas kecil. Mengingat penyebaran populasi muslim di tengah masyarakat melayu cukup besar, maka biasanya akan ditambahkan dengan kerudung.
Hanya saja, seiring bergulirnya waktu, penggunaan baju kurung kini bisa ditemukan di kalangan masyarakat biasa, baik itu berusia dewasa maupun anak-anak, dan tidak terkecuali pula di Aceh. Namun, tentunya ada perbedaan desain antara pakaian keseharian dengan pakaian adat yang dikenakan pada momen-momen tertentu saja.
Pada dasarnya, baju kurung telah melewati sejarah yang panjang hingga menjadi salah satu bagian dari adat masyarakat Aceh. Bahkan kini, bisa dikatakan sebagai pakaian umum di kalangan perempuan muslim, tidak jarang juga dijadikan tren mode.
6. Cekak Musang, Bawahan Daro Baro


Tentu, tidak lengkap pakaian adat tradisional tanpa bawahan, begitu pula pada Daro Baro ada yang dikenal dengan istilah Cekak Musang. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki celana kain tetapi warnanya cenderung lebih cerah menyesuaikan atasan dan atribut lain. Warnanya mengikuti baju kurung saat dikenakan agar tidak terkesan aneh.
Celana Cekak Musang pada bagian bawah yang melingkari pergelangan kaki didesain dengan sulaman benang berwarna keemasan, dan sedikit melebar. Di samping itu, umumnya perempuan juga akan melilitkan sarung mulai dari pinggang hingga sedikit di bawah lutut sebagai pelengkapnya.
Pakaian adat tradisional Aceh punya sejarah panjang dan mencerminkan asimilasi berbagai budaya. Sebagai daerah istimewa di Indonesia, Anda akan merasakan suasana yang khas ketika bertandang ke provinsi ini. Jika tertarik mengoleksi pakaian tradisional Aceh atau sekadar memakainya untuk mengabadikan momen, Anda dapat dengan mudah menemukannya di toko Online.